Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lakon Dewa Ruci

Wayang Arya Bratasena
Lakon Dewa Ruci atau Bima Suci bukan bagian asli dari kitab Mahabarata, cerita ini mengambil tokoh utama dari Mahabarata, yaitu Bima, salah satu kesatria Pandawa. Kisah sisipan ini populer dalam masyarakat Jawa dan dipentaskan oleh kebanyakan dalang di Jawa.

Kisah

Dikisahkan, pada saat itu di negeri Astina, Prabu Suyudana bersama dengan Resi Durna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana lainnya. Mereka membahas membahas bagaimana caranya Pandawa dapat dimusnahkan secara halus.

Pada suatu kesempatan Arya Bratasena/Werkudara/Bima ditugaskan oleh Durna gurunya, untuk mencari Tirta Perwita (air kehidupan) yang dapat membuat Arya Bratasena mencapai kesempurnaan hidup. Perintah ini sesungguhnya hanyalah siasat untuk melenyapkan Arya Bratasena, tetapi Arya Bratasena tidak menyadarinya, ia pun menjalankan titah sang guru. Ia berangkat menuju tempat sudah ditentukan Durna.

Pertama, Arya Bratasena diutus ke gua gunung Candramuka. Setelah mendapati bahwa air yang dicarinya ternyata tidak ada, maka ia mengobrak-abrik gua sehingga membuat terkejut dua raksasa yang tinggal di sana, yaitu Rukmuka dan Rukmakala. Kemudian terjadi perkelahian antara mereka, yang akhirnya dimenangkan oleh Arya Bratasena. Saat beristirahat usai pertempuran, ia bersandar pada sebuah pohon beringin. Tak lama kemudian, suara tak berwujud yang berasal dari Batara Indra dan Batara Bayu memberi tahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Arya Bratasena ternyata memang sedang dihukum Batara Guru. Lalu mereka memerintahkan Arya Bratasena agar kembali ke Astina karena air kehidupan tak ada di gua tersebut.

Disaat yang hampir bersamaan, kerabat Arya Bratasena ada yang merasa curiga bahwa ini hanyalah jebakan yang dilakukan Durna. Kemudian mengutus utusan untuk melaporkannya ke Prabu Kresna di Dwarawati. Mendapat laporan tentang usaha Arya Bratasena mencari Tirta Perwita bergegas Sri Batara Kresna menuju ke Amarta. Selah mendapat penjelasan dari Puntadewa, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, dewata telah mengetahui tentang tipu daya tersebut, tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung dan jika Arya Bratasena teguh dengan keinginannya untuk mendapatkan Tirta Perwita maka akan mendapatkan pahala dari dewata tentang Sukma Sejati.

Setiba di Astina, Arya Bratasena kembali menghadap Durna dan melaporkan bahwa Tirta Perwita tidak ada di Candramuka. Sang guru berdalih bahwa ia hanya menguji Arya Bratasena. Kemudian, ia pun memerintahkan Arya Bratasena untuk menuju samudra demi mendapatkan air kehidupan. Dalam perjalanan menuju samudra seperti yang dikatakan Durna, Arya Bratasena singgah ke Amarta, banyak kerabat dari Arya Bratasena melarang dan memperingatkan bahwa semua itu hanyalah jebakan. Namun Arya Bratasena tetap teguh dan bertekad pergi demi melaksanakan titah sang guru. Sesampainya di tepi samudra, ia menenangkan pergolakan batin dalam dirinya sebelum memasuki samudra raya itu. Berkat kesaktian Aji Jalasegara yang ia dapatkan dari Batara Bayu pada perjalanan sebelumnya, Bima mampu memasuki dasar samudra dengan cara menyibak air. Seekor naga yang menghuni dasar samudra segera melilit Arya Bratasena. Setelah bergumul cukup lama, ia mendapatakan kesempatan untuk menikamkan pusaka Kuku Pancanaka ke badan naga, yang akhirnya merenggut nyawa naga tersebut.

Di samudra yang sama, Arya Bratasena bertemu dengan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Arya Bratasena dengan tubuh tidak lebih besar dibanding telapak tangan Arya Bratasena. Dewa Ruci memerintahkan Arya Bratasena untuk memasuki telinga kirinya. Namun dengan sebuah keajaiban Arya Bratasena berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu dan di dalamnya Arya Bratasena mendapati dunia yang mahaluas. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Arya Bratasena memahami wejangan Dewa Ruci yang sesungguhnya adalah representasi dirinya sendiri yang muncul dan memberi pengajaran kepadanya karena ia telah mematuhi perintah gurunya (Durna) dengan sepenuh hati.

Ada empat macam warna yang tampak oleh Arya Bratasena, yaitu hitam, merah, kuning dan putih. Menurut Dewa Ruci, cahaya itu disebut Pancamaya, ada di dalam hati manusia. Sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning, dan putih, itu adalah penghalang hati. Yang hitam melambangkan kemarahan, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa prasangka, unggul dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.

Lalu Arya Bratasena melihat cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung. Menurut Dewa Ruci, itu adalah kemampuan manusia untuk berwaspada, yang disebut sebagai Pramana. Pramana menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita. Dewa Ruci juga menjelaskan tentang Sukma Sejati serta persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, perasaan Bima menjadi bahagia.

Makna

Kisah Dewa Ruci merupakan alegori tentang hasrat manusia yang terus ingin melacak keberadaan Tuhan, dan dengan nalarnya ia melakukan penjelajahan. Menurut filsafat Jawa, manusia disebut sebagai jagat cilik atau mikrokosmos (dunia kecil), sedangkan semesta raya disebut sebagai makrokosmos atau jagat gede. Jagat mikrikosmos sama luasnya dengan jagat makrokosmos. Di sana, rahasia ketuhanannya diberi petunjuk: "Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya." Keyakinan ini mengendap dalam keyakinan orang-orang Jawa pada masa silam.

Perjalanan Bima mengalahkan para raksasa untuk menemukan air perwita, mengalahkan naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sarat akan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan, misalnya nafsu makan, kekuasaan, kesombongan, dan semacamnya. Bima mencapai kesempurnaan karena watak dan sifat rela, patuh, waspada, eling (tidak lupa diri), dan rendah hati. Seseorang yang telah mengetahui jati dirinya akan melakukan hal-hal tersebut dengan alasan ia mengamalkan tugas-tugasnya di dunia

Naskah

Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I (ditengarai sebagai guru dari pujangga Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820). Yasadipura I sendiri dijuluki sebagai pujangga "penutup" Keraton Surakarta.

Salinan kisah Dewa Ruci juga dipublikasikan beberapa kali oleh sejumlah penerbit, di antaranya:
  1. Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Kramapawira tahun 1870, dicetak oleh Percetakan Van Dorp, Semarang, dengan aksara Jawa.
  2. Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga beraksara Jawa tulisan Mas Ngabehi Mangunwijaya dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri, tahun 1922.
  3. Cerita Dewa Roetji yang dimuat di majalah Belanda Djawa pada tahun 1940, dengan kontributor R.M. Poerbatjaraka.
  4. Serat Dewa Ruci Kidung dari Bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh Penerbit Dahara Prize Semarang tahun 1991, berhuruf Latin, berbahasa Jawa, dan ada terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam versi tersebut hanya disebutkan penulisnya adalah pujangga Surakarta.

Ditelaah dari beberapa naskah, termasuk yang dikarang oleh Yasadipura I, tema dari kisah Dewa Ruci sarat akan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia.

Mohon tulis di kolom komentar jika ada kesalahan atau kekurangan pada artikel ini.
Dodi Subandoro
Dodi Subandoro Keep Calm and Carry On
Rabbighfirlii Warhamnii Wajburnii Warfa’nii Warzuqnii Wahdinii Wa’aaifinii Wa’fuaniii

Posting Komentar untuk "Lakon Dewa Ruci"